Kamis, 21 Februari 2013

Kemiskinan, Mangrove, dan Terumbu Karang


Archipelago State. Begitulah sebutan yang sudah sering mendayu dayu dielukan untuk Negara kita, Indonesia. Sebutan ini biasa kita sebut dengan sebutan Negara Kepulauan. Sebagai masyarakat Indonesia kita perlu berbangga hati karena Indonesia merupakan negara kedua dengan garis pantai terpanjang setelah Kanada. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia. Jika kita berbicara mengenai pesisir Indonesia tentu saja kita berbicara mengenai pesisir Aceh. Hal ini dikarenakan Provinsi Aceh memiliki garis pantai sekitar 2.666.27 km dan wilayah laut sekitar 43.339.83 km2 yang merupakan wilayah pesisir terbesar di Pulau Sumatera. Sangat mengagumkan bukan?
Menjadi bagian dari ekosistem besar Teluk Benggala, memiliki ekosistem laut yang berbaris menghiasi pesisir Aceh mulai dari sebelah utara menuju perairan barat Aceh hingga perbatasan Sumatera Utara, dan masih banyak keindahan lainnya benar-benar menjadikan Aceh sebagai primadona. Namun sayangnya, dibalik semua keindahan yang mengagumkan biasanya tersembunyi borok luka yang sangat memilukan. Tak terkecuali pada keindahan pesisir Provinsi Aceh ini.
              Keindahan yang membuat dada berdebar penuh kebanggaan ternyata belum dapat menjadikan Aceh surganya wilayah pesisir. Ada sederet ancaman memilukan yang perlu diperbaiki. Pertama, dari segi perekonomian masyarakat pesisir Aceh. Kekayaan alam yang dimiliki belum memberikan kesejahteraan bagi 25 persen penduduk pesisir saat ini yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Masih terdapat beratus masyarakat pesisir Aceh yang melarat dalam kepahitan hidup. Padahal ini sangat bertentangan dengan sumber daya alam kelautan yang berlimpah di daerah kita ini. Dari 61.767 orang nelayan di Aceh, 25 persen diantaranya terhimpit masalah ekonomi yang berkelanjutan. Sungguh miris.
              Ancaman yang kedua adalah hilangnya hutan Mangrove di Aceh. Kerusakan pesisir Aceh sebetulnya tampak sangat nyata, terutama kerusakan hutan Mangrove yang sebelumnya menghiasi hampir tiap jengkal daerah pinggir pantai. Namun kini telah dimusnahkan oleh masyarakat pesisir sendiri disebabkan keterhimpitan ekonomi. Kemiskinan membawa masyarakat mencari penghasilan dengan cara merusak hutan Mangrove. Hingga kini, kerusakan Mangrove di Aceh telah mencapai 75 persen dari total yang pernah ada. Padahal telah ditunjuk pengelola sumberdaya alam. Namun, pengelola seringkali dibutakan kewajiban-kewajibannya tentang mengelolaan sumberdaya alam tersebut. Dalam hal ini, lemahnya komitmen pemerintah terhadap cita-cita pelestarian lingkungan menyebabkan beribu pelanggaran yang benar-benar mengeksploitasi hutan mangrove Aceh menjadi hancur dan lebur bahkan hilang dari peredaran.
              Ancaman yang ketiga yang sangat krusial adalah berkurangnya terumbu karang. Bagi banyak orang mungkin mengira bahwa terumbu karang semata berguna sebagai estetika belaka. Namun sebetulnya berkurangnya terumbu karang juga menjadi ancaman bagi perekonomian masyarakat pesisir karena ikan semakin sulit didapat. Penggunaan bahan peledak dan jaring trawl oleh nelayan menjadi penyebab utama kerusakan ini.
            Jika mengingat betapa surganya keindahan dan kemakmuran pesisir Aceh di zaman dahulu tentu membuat dada rasanya teriris miris. Karenanya sumber daya manusia dan alam kelautan benar benar harus dioptimalkan agar kemiskinan masyarakat pesisir dapat dimusnahkan tanpa meninggalkan tujuan konservasi di dalamnya. Khususnya pengembalian terumbu karang dan mangrove di Aceh. Peran pemerintahan maupun masyarakat sama-sama diperlukan. Berbagai kebiasaan buruk yang dapat merusak konservasi pesisir hendaknya ditinggalkan. Sebuah pribahasa Aceh  mengatakan: “Awalu kutu bi’at, ban nyang lazim menunan mangat”, yang artinya : “Bagaimana kebiasaan begitulah yang dia buat.”, maka hendaklah kita membiasakan diri menjaga lingkungan khususnya daerah pesisir agar tanah Aceh dapat terbebas dari segala ancaman lingkungan yang sedang membelenggu. Karena sungguh, sangat indah rasanya ketika lolos dari segala problema lingkungan yang telah membabi buta.
 
by: Maulidza Akhir, SMA Negeri 3 Banda Aceh

1 komentar: