Archipelago State. Begitulah sebutan yang sudah sering mendayu dayu
dielukan untuk Negara kita, Indonesia. Sebutan ini biasa kita sebut dengan
sebutan Negara Kepulauan. Sebagai masyarakat Indonesia kita perlu berbangga
hati karena Indonesia merupakan negara kedua dengan garis pantai terpanjang
setelah Kanada. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia merupakan salah
satu pusat keanekaragaman hayati dunia. Jika kita berbicara mengenai pesisir
Indonesia tentu saja kita berbicara mengenai pesisir Aceh. Hal ini dikarenakan
Provinsi Aceh memiliki garis pantai sekitar 2.666.27 km dan wilayah laut sekitar
43.339.83 km2 yang merupakan wilayah pesisir terbesar di Pulau
Sumatera. Sangat mengagumkan bukan?
Menjadi bagian dari ekosistem besar Teluk
Benggala, memiliki ekosistem laut yang berbaris menghiasi pesisir Aceh mulai
dari sebelah utara menuju perairan barat Aceh hingga perbatasan Sumatera Utara,
dan masih banyak keindahan lainnya benar-benar menjadikan Aceh sebagai
primadona. Namun sayangnya, dibalik semua keindahan yang mengagumkan biasanya
tersembunyi borok luka yang sangat memilukan. Tak terkecuali pada keindahan
pesisir Provinsi Aceh ini.
Keindahan yang membuat dada
berdebar penuh kebanggaan ternyata belum dapat menjadikan Aceh surganya wilayah
pesisir. Ada sederet ancaman memilukan yang perlu diperbaiki. Pertama, dari
segi perekonomian masyarakat pesisir Aceh. Kekayaan alam yang dimiliki belum
memberikan kesejahteraan bagi 25 persen penduduk pesisir saat ini yang masih
berada di bawah garis kemiskinan. Masih terdapat beratus masyarakat pesisir
Aceh yang melarat dalam kepahitan hidup. Padahal ini sangat bertentangan dengan
sumber daya alam kelautan yang berlimpah di daerah kita ini. Dari 61.767 orang
nelayan di Aceh, 25 persen diantaranya terhimpit masalah ekonomi yang
berkelanjutan. Sungguh miris.
Ancaman yang kedua adalah
hilangnya hutan Mangrove di Aceh. Kerusakan pesisir Aceh sebetulnya tampak
sangat nyata, terutama kerusakan hutan Mangrove yang sebelumnya menghiasi
hampir tiap jengkal daerah pinggir pantai. Namun kini telah dimusnahkan oleh
masyarakat pesisir sendiri disebabkan keterhimpitan ekonomi. Kemiskinan membawa
masyarakat mencari penghasilan dengan cara merusak hutan Mangrove. Hingga kini,
kerusakan Mangrove di Aceh telah mencapai 75 persen dari total yang pernah ada.
Padahal telah ditunjuk pengelola sumberdaya alam. Namun, pengelola seringkali dibutakan
kewajiban-kewajibannya tentang mengelolaan sumberdaya alam tersebut. Dalam hal
ini, lemahnya komitmen pemerintah terhadap cita-cita pelestarian lingkungan
menyebabkan beribu pelanggaran yang benar-benar mengeksploitasi hutan mangrove
Aceh menjadi hancur dan lebur bahkan hilang dari peredaran.
Ancaman yang ketiga yang sangat
krusial adalah berkurangnya terumbu karang. Bagi banyak orang mungkin mengira
bahwa terumbu karang semata berguna sebagai estetika belaka. Namun sebetulnya berkurangnya terumbu karang juga menjadi ancaman bagi
perekonomian masyarakat pesisir karena ikan semakin sulit didapat. Penggunaan bahan peledak dan jaring
trawl oleh nelayan menjadi penyebab utama kerusakan ini.
Jika mengingat betapa
surganya keindahan dan kemakmuran pesisir Aceh di zaman dahulu tentu membuat
dada rasanya teriris miris. Karenanya sumber daya manusia dan alam kelautan
benar benar harus dioptimalkan agar kemiskinan masyarakat pesisir dapat
dimusnahkan tanpa meninggalkan tujuan konservasi di dalamnya. Khususnya
pengembalian terumbu karang dan mangrove di Aceh. Peran pemerintahan maupun
masyarakat sama-sama diperlukan. Berbagai kebiasaan buruk yang dapat merusak
konservasi pesisir hendaknya ditinggalkan. Sebuah pribahasa Aceh mengatakan: “Awalu kutu bi’at, ban nyang lazim menunan mangat”, yang artinya :
“Bagaimana kebiasaan begitulah yang dia buat.”, maka hendaklah kita membiasakan
diri menjaga lingkungan khususnya daerah pesisir agar tanah Aceh dapat terbebas
dari segala ancaman lingkungan yang sedang membelenggu. Karena sungguh, sangat
indah rasanya ketika lolos dari segala problema lingkungan yang telah membabi
buta.
by: Maulidza Akhir, SMA Negeri 3 Banda Aceh
mari bersama kita menjaganya.
BalasHapus