Bulu Babi (Diadema) merupakan hewan asosiasi terumbu karang yang sangat unik dan berbahaya, hal ini karena bentuk tubuhnya yang berduri runcing serta berbisa, walaupun tidak mematikan, bisa yang dihasilkan diadema cukup untuk membuat kita meringis seharian. secara tradisional, para nelayan yang tertusuk duri diadema menanganinya dengan disirami air seni karena mengandung amonia. namun sesuai dengan perkataan alquran, tidak ada ciptaanNYA yang tidak berguna di bumi ini, belakangan ini salah satu jenis diadema sudah banyak dibudidayakan di Amerika. untuk mengetahui secara mendalam mengenai diadema, baca selanjutnya di artikel ini..!!
1. Deskripsi dan Klasifikasi Bulu Babi
Bulu babi termasuk Filum Echinodermata, bentuk dasar tubuh segilima. Mempunyai lima pasang garis kaki tabung dan duri panjang yang dapat digerakkan. Kaki tabung dan duri memungkinkan binatang ini merangkak di permukaan karang dan juga dapat digunakan untuk berjalan di pasir. Cangkang luarnya tipis dan tersusun dari lempengan-lempengan yang berhubungan satu sama lain.
Diadema setosum merupakan satu diantara jenis bulu babi yang terdapat di Indonesia yang mempunyai nilai konsumsi (Azis 1993 dalam Ratna 2002). Diadema setosum termasuk dalam kelompok echinoid beraturan (regular echinoid), yaitu echinoid yang mempunyai struktur cangkang seperti bola yang biasanya sirkular atau oval dan agak pipih pada bagian oral dan aboral. Permukaan cangkang di lengkapi dengan duri panjang yang berbeda-beda tergantung jenisnya, serta dapat digerakkan (Barnes 1987 dalam Ratna 2002). Klasifikasi bulu babi spesiesDiadema setosum menurut Pratt (1935) adalah :Filum : EchinodermataKelas : EchinoideaSubkelas : EuchinoideaOrdo : CidaroideaFamili : DiadematidaeGenus : DiademSpesies : Diadema setosu Hewan yang memiliki nama Internasional sea urchin atauedible sea urchin ini tidak mempunyai lengan. Tubuhnya umumnya berbentuk seperti bola dengan cangkang yang keras berkapur dan dipenuhi dengan duri-duri (Nontji 2005). Durinya amat panjang, lancip seperti jarum dan sangat rapuh. Duri-durinya terletak berderet dalam garis-garis membujur dan dapat digerak-gerakkan, panjangnya dapat mencapai ukuran 10 cm dan lebih. Penyelam yang tidak menggunakan alas kaki mudah sekali tertusuk durinya sehingga akan sedikit merasakan demam karena bisa pada duri tersebut, racunnya sendiri dapat dinetralisir dengan amonia, perlakuan asam ringan (jeruk lemon atau cuka).
Berdasarkan bentuk tubuhnya, kelas Echinodoidea dibagi dalam dua subkelas utama, yaitu bulu babi beraturan (regular sea urchin) dan bulu babi tidak beraturan (irregular sea urchin) (Hyman 1955 dalam Ratna 2002), dan hanya bulu babi beraturan saja yang memiliki nilai konsumsi (Lembaga Oseanologi Nasional 1973 dalam Ratna 2002). Tubuh bulu babi sendiri terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian oral, aboral, dan bagian diantara oral dan aboral (Lembaga Oseanologi Nasional 1973 dalam Ratna 2002). Pada bagian tengah sisi aboral terdapat sistem apikal dan pada bagian tengah sisi oral terdapat sistem peristomial. Lempeng-lempeng ambulakral dan interambulakral berada diantara sistem apikal dan sistem peristomial. Di tengah-tengah sistem apikal dan sistem peristomial termasuk lubang anus yang dikelilingi oleh sejumlah keping anal (periproct) termasuk diantaranya adalah keping-keping genital. Salah satu diantara keping genital yang berukuran paling besar merupakan tempat bermuaranya sistem pembuluh air (waste vascular system). Sistem ini menjadi cirri khas Filum Echinodermata, berfungsi dalam pergerakan, makan, respirasi, dan ekskresi. Sedangkan pada sistem peristomial terdapat pada selaput kulit tempat menempelnya organ “lentera aristotle”, yakni semacam rahang yang berfungsi sebagai alat pemotong dan penghancur makanan. Organ ini juga mampu memotong cangkang teritip, molusca ataupun jenis bulu babi lainnya (Azis 1987 dalamRatna 2002). Di sekitar mulut bulu babi beraturan kecuali ordo Cidaroidea terdapat lima pasang insang yang kecil dan berdinding tipis (Hyman 1955 dan Barnes 1987 dalam Ratna 2002)
Hewan unik ini juga memiliki kaki tabung yang langsing panjang, mencuat diantara duri-durinya. Duri dan kaki tabungnya digunakan untuk bergerak merayap di dasar laut. Ada yang mempunyai duri yang panjang dan lancip, ada pula yang durinya pendek dan tumpul. Mulutnya terletak dibagian bawah menghadap kedasar laut sedangkan duburnya menghadap keatas di puncak bulatan cangkang. Makanannya terutama alga, tetapi ada beberapa jenis yang juga memakan hewan-hewan kecil lainnya (Nontji, 2005).
Pada umumnya bulu babi berkelamin terpisah, dimana jantan dan betina merupakan individu-individu tersendiri (gonochorik/dioecious). Spesies gonochorik secara khusus memiliki rasio seks sendiri dan jarang bersifat hemafrodit. Munculnya hemafrodoitisme pada Tripneustes gratilla adalah 1 dari 550 individu. Pembelahan bulu babi terjadi secara eksternal, dimana sel telur dan sel sperma di lepas ke dalam air laut di sekitarnya (Sugiarto dan Supardi 1995 dalam Ratna 2002). Gonad jantan dan betina pada bulu babi juga sulit dibedakan tanpa menggunakan mikroskop. Secara kasar hanya warna yang digunakan untuk membedakan gonad. Misalnya pada bulu babiParacentrotus livindus, gonad jantan berwarna kuning sedangkan betina berwarna orange
Dalam penelitian Gunarto dan Setiabudi (2002) di perairan Pulau Barang Lompo, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, didapati ukuran bulu babi terbesar memiliki kisaran tinggi cangkang 50-61 mm, diameter cangkang 86-94 mm, berat total 148-331 g. Sedangkan ukuran bulu babi terkecil dengan ukuran tinggi cangkang 27,2-36,4 mm, diameter cangkang 47,4-66,0 mm, dan berat total 41,4-110,9 g.
Bulu babi termasuk organisme yang pertumbuhannya lambat. Umur, ukuran, dan pertumbuhan tergantung kepada jenis dan lokasi. Chen dan Run (1988) dalam Tuwo (1995) diacu dari Ratna (2002) melaporkan bahwa bulu babi jenisTripeneuste gratilla yang dipelihara di laboratorium di Taiwan mengalami metamorfos pada umur 30 hari. PertumbuhanTripneustes gratilla sangat cepat pada awal perkembangannya, tetapi jumlahnya terbatas. Hal ini diduga erat kaitannya dengan banyaknya predator yang dialami oleh hewan berukuran kecil. Setelah mencapai umur tertentu, cangkangnya sudah cukup kuat sehingga jumlah predator yang dapat menyerang dan memecahkan cangkangnya berkurang. Bulu babi mempunyai banyak predator, yaitu berbagai jenis ikan, termasuk hiu, anjing laut, lobster, kepiting, dan gastropoda (Kenner 1992; Tegner dan Dayton 1981 dalam Tuwo 1995). Hal ini juga menyebabkan rendahnya densitas bulu babi. Predator utama bulu babi jenisDiadema setosum adalah ikan Buntal (Tetraodon) dan ikan Pakol (Balistes) yang mempunyai gigi yang kuat dan tajam yang dapat mematahkan duri-duri dan mengoyak cangkang bulu babi (Nontji 2005). Mortalitas bulu babi umumnya sangat tinggi (Ebert 1975 dalam Tuwo 1995). Secara umum di alam bulu babi dapat mengalami kematian massal pada suhu 34-40˚ C .
2. Habitat dan Penyebaran Bulu Babi
Bulu babi hidup di ekosistem terumbu karang (zona pertumbuhan alga) dan lamun. Bulu babi ditemui dari daerah intertidal sampai kedalaman 10 m dan merupakan penghuni sejati laut dengan batas toleransi salinitas antara 30-34 ‰ (Aziz 1995 dalam Hasan 2002). Hyman (1955) dalam Ratna (2002) menambahkan bahwa bulu babi termasuk hewan benthonic, ditemui di semua laut dan lautan dengan batas kedalaman antara 0-8000 m. Karena echinoide memiliki kemampuan beradaptasi dengan air payau lebih rendah dibandingkan invertebrate lain. Kebanyakan bulu babi beraturan hidup pada substrat yang keras, yakni batu-batuan atau terumbu karang dan hanya sebagian kecil yang menghuni substrat pasir dan Lumpur, karena pada kondisi demikian kaki tabung sulit untuk mendapatkan tempat melekat. Golongan tersebut khusus hidup pada teluk yang tenang dan perairan yang lebih dalam, sehingga kecil kemungkinan dipengaruhi ombak.
Dalam penelitian Gunarto dan Setiabudi (2002) dilaporkan bahwa perkembangan gonad bulu babi pada musim kemarau tidak dalam satu stadium, tetapi terdapat gonad dlam periode berkembang, matang, pijah.
3. Masa Hidup Bulu Babi
Bulu babi merah (Strongylocentrotus franciscanus) yang sejak lama dianggap sebagai momok di lautan. Karena makan tumbuh-tumbuhan di bawah air dan banyak orang yakin hewan inilah yang bertanggungjawab atas kerusakan ekosistem laut. Tidak heran bila banyak orang berusaha meracuninya, ternyata dalam penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa bulu babi merah tumbuh jauh lebih lambat dari perkiraan semula, namun hidup lebih lama dibanding dugaan awal. Mereka tidak sekedar mencapai umur tujuh hingga 15 tahun seperti diperkirakan, tapi bisa mencapai 200 tahun lebih (www.kompas.com)
Lebih menarik lagi, hewan-hewan lanjut usia itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda uzur. Menurut Dr Albertdalam kompas.com, walaupun mereka bisa mati karena serangan hewan pemangsa, penyakit tertentu, atau ditangkap nelayan, namun hewan-hewan ini tidak menunjukkan tanda-tanda ketuaan lanjut. Bukti-bukti menunjukkan bahwa bulu babi merah berusia 100 tahun tidak begitu berbeda dengan yang berumur 10 tahun. Kenyataan mengindikasikan bahwa semakin dewasa bulu babi merah, maka makin produktif mereka menghasilkan sperma dan telur. Hewan ini juga masih mampu berkembang biak walau usianya sudah amat tua. Di antara hal-hal lain, data radio karbon juga menunjukkan bulu babi merah memiliki pertumbuhan yang nyaris tidak terlalu dipengaruhi kondisi laut dan variabel lain (www.kompas.com).
Analisis terhadap genom bulu babi juga menunjukkan bahwa bulu babi memiliki sistem kekebalan dan kepekaan gen yang unik dan kompleks. Kemiripan antara manusia dan bulu babi yang memiliki jalur kekerabatan jauh dapat dijadikan model untuk memahami proses evolusi. Dalam proyek genetika yang dilakukan di California, para ilmuwan mengambil DNA dari sperma seekor bulu babi jantan California yang hidup menyebar di pantai barat AS dari Baja hingga Alaska. Hasil identifikasi menunjukkan ada 23.300 gen yang tersusun dari 814 juta kode DNA yang dimiliki seekor bulu babi. George Weinstock dari Sekolah Kedokteran Baylor AS sebagai pemimpin dalam proyek pengurutan DNA bulu babi menyatakan bahwa 70 persen gen bulu babi ternyata memiliki kemiripan dengan manusia sementara pada lalat buah hanya 40 persennya, dengan dua jenis filum yang berbeda. Melalui mekanisme ini dapat menjelaskan mengapa hewan tersebut bisa bertahan hingga 100 tahun (www.kompas.com).
4. Pemanfaatan Bulu Babi
Bagian dari bulu babi yang biasa dimanfaatkan adalah gonad atau telurnya, baik gonad jantan maupun gonad betina. Bulu babi beraturan mempunyai lima gonad yang tergantung sepanjang bagian dalam interambulakral pada daerah aboral (Hyman 1955 dalam Ratna 2002). Tergantung lingkungan dan faktor genetik, bulu babi muda dapat mencapai kematangan seksual sekitar 1-2 tahun setelah beralih dari fase larva ke fase juvenil. Trinidad-Roa (1989) dalam Setiabudi (1996) diacu dari Ratna 2002, melaporkan bahwa Tripneutes gratilla dari Bali mengalami matang kelamin pertama kali pada umur 2.5 tahun. Setelah itu produksi gonadnya menurun. Hal ini ditemukan juga pada kelas echinoidea lainnya (Conand 1989 dalam Tuwo 1995 diacu dari Ratna 2002).
Gonad yang matang berukuran sangat besar, mengisi ruang yang kosong diantara untaian usus dan meluas mulai pertengahan aboral hingga mencapai lentera aristotle (Hyman 1955 dalam Ratna 2002). Umumnya gonad yang matang bertekstur lunak dan berlendir. Telur seperti ini tidak diinginkan sebagai produk perikanan. Telur atau gonad yang dikehendaki adalah yang bertekstur kompak, dimana kondisi ini terjadi pada saat fase pijah lanjut (Bernard 1977 dalam Darsono 1986 diacu dari Ratna 2002).
Pemanenan bulu babi sebaiknya dilakukan pada saat indeks kematangan gonad mencapai maksimal atau sebelum musim pemijahan. Secara teoritis hewan yang boleh ditangkap sebaiknya adalah yang pernah memijah minimal satu kali agar hewan dapat berkembang biak sebelum tertangkap (Tuwo 1995dalam Ratna 2002), di California bulu babi merah (Strongylocentrotus fransciscanus) baru dapat dipanen setelah berumur antara 5-8 tahun. Sedangkan di daerah Shetland pemanenan Echinus esculentus biasanya dilakuka mulai akhir Desember sampai akhir Februari, tepatnya sebelum musim pemijahan (Penfold dan Boyle 1996 dalam Ratna 2002). Berat bulu babi biasanya mencapai 25% dari total berat tubuhnya, tergantung kepadatan populasi dan tersedianya cukup makanan di alam (Darsono 1986 dalam Ratna 2002). Pemanenan sebaiknya tidak dilakukan jika rata-rata persentase gonad masih dibawah 10% (Penfold dan Boyle 1996 dalam Ratna 2002).
Sebagian besar negara-negara di Amerika dan Eropa telah mulai mengembangkan budidaya jenis ini. Meskipun dalam perkembangannya, terlihat jelas adanya perbedaan mencolok antara produk tangkapan di laut dan telur dari hasil budidaya. Perbedaan itu utamanya terletak pada warna dan tekstur telur yang dihasilkan. Warna dan tekstur adalah dua faktor penentu dalam kualitas dan harga bulu babi. Menurut Pearce dkk (2004) bahwa bulu babi yang diberi pakan buatan dapat menghasilkan telur yang besar namun warna telur yang dihasilkan pucat (pale), sementara warna telur bulu babi tangkapan alam jauh lebih kuning kemerahan. Hal ini berpengaruh terhadap harga jual (www.beritaiptek.com).
Cangkang dari jenis bulu babi tertentu dilapisi oleh pigmen cairan hitam yang stabil. Cairan ini dapat digunakan sebagai pewarnaan jala dan kulit. Cangkang dari bulu babi juga diminati sebagai barang perhiasan. Sedangkan organ dari sisa pengolahan bulu babi biasanya berupa cangkang dan organ dalam (jeroan) dapat diproses lebih lanjut menjadi pupuk (Zaitsev et al 1969 dalam Ratna 2002).
Umumnya gonad bulu babi dijual dalam keadaan segar, karena memiliki nilai paling tinggi. Beberapa kriteria kualitas gonad yang memengaruhi harga beli di pelelangan adalah jenis, negara asal, warna, tekstur, ukuran, rupa, kesegaran, dan rasa. Diantara kriteria tersebut warna, kesegaran dan negara asal merupakan faktor terpenting dalam menentukan harga. Berdasarkan warnanya, mutu gonad bulu babi dapat dikelompokkan menjadi mutu sangat baik (Grade A) dengan gonad berwarna kuning atau orange terang, mutu baik (Grade B) dengan warna gonad merah muda atau kuning pucat (krem) dan mutu jelek (reject) dengan gonad berwarna coklat (Penfold dan Boyle 1996; Murniyati dan Setiabudi 1998 dalam Ratna 2002).
5. Komposisi Kimia Gonad Bulu Babi
Gonad bulu babi merupakan makanan tambahan yang kaya akan nilai gizi. Lee dan Hard (1982) dalam Azis (1995)diacu dari Ratna (2002) melaporkan bahwa dari analisis protein bulu babi, ternyata didalamnya terkandung sekitar 28 macam asam amino. Selain itu gonad bulu babi juga kaya akan vitamin B kompleks, vitamin A dan mineral (Kato dan Schoeroter 1985dalam Azis 1995 diacu dari Ratna 2002). Pada tabel dapat dilihat hasil analisis proksimat beberapa gonad bulu babi dan menyajikan komposisi kimia gonad bulu babi Diadema setosum.
Gonad bulu babi sebagai organ reproduksi merupakan timbunan protein berkualitas tinggi yang kaya akan asam-asam amino yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Dari hasil analisa kualitatif gonad bulu babi Diadema setosum diketahui bahwa dalam gonad tersebut ditemukan lima asam amino esensial bagi orang dewasa yaitu lisin, metionin, fenilalanin, threonin, dan valin, dua asam amino esensial bagi anak-anak yaitu arginin dan histidin, juga ditemukan asam amino esensial lain yaitu asam aspartat, asam glutamat, glisin, serin (Ismail et al 1981 dalamDarsono 1982 diacu dari Ratna 2002). Beberapa jenis asam amino yang terkandung dalam gonad bulu babi sangat berperan dalam karakterisasi rasa spesifik gonad bulu babi (Fuke dalamShahidi dan Botta 1992). Jenis-jenis asam amino tersebut adalah glisin, valin, alanin, methionin, dan asam glutamat. Selain itu pula nukleotida dari jenis IMP (Inosin Mono Phosphat) dan GMP (Guanosin Mono Phosphat) juga ikut memengaruhi karakterisasi rasa gonad bulu babi, terutama dalam pembentukan rasa ”umami”, yaitu rasa khas seperti golongan daging. Kandungan komponen aktif rasa dari gonad bulu babi disajikan pada tabel 3.
Beberapa faktor yang memengaruhi komposisi kimia biota laut antara lain adalah jenis dan golongan ikan, umur, jenis kelamin, aktivitas pergerakan ikan. Musim, dan jenis makanan yang tersedia serta fase reproduksi biota tersebut.
6. Peranan Bulu Babi dalam Ekosistem Lingkungan
Selain pemanfaatannya sebagai bahan pangan, biota ini juga sangat berperan dalam kesetimbangan ekosistem habitatnya. Seperti peran Diadema antillarum bagi terumbu karang diantaranya yaitu, peningkatan jumlah populasi jenis ini mengakibatkan kematian larva atau karang muda. Bila populasinya turun (absence grazing) karang akan ditumbuhi oleh alga yang dapat berakibat pada kematian karang dewasa dan tidak adanya tempat bagi larva karang (www.terangi.or.id.)
Kehadiran populasi jenis ini penting bagi terumbu karang sebagai penyeimbang. Kesetimbangan populasi Diadema antillarum akan menjaga kesetimbangan populasi alga dan karang. Sedangkan kematian massal Diadema antillarumberdampak pada penurunan drastis tutupan karang, menurunnya kehadiran Invertebrata yang biasanya menetap di wilayah ini. Selain itu, terumbu karang dapat didominasi oleh alga. Pada tahun 1995 ternyata ditemukan bahwa populasi Diadema antillarumyang sangat sedikit (pemulihannya membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun). Hilangnya induk menyebabkan jumlah larva juga sangat kurang. Meski telah mulai ada pemulihan Diadema, namun belum dapat diketahui apakah akan dapat mengembalikan terumbu karang yang hilang (www.terangi.or.id).
Kematian massal bulu babi pernah terjadi pada tahun 1983-1984 di Pasifik Barat, yang dimulai dari Panama di awal Januari 1983 yang menyebar ke Karibia, Teluk Meksiko, Bahama, Bermuda dengan tingkat kematian mencapai 93-100%. Penyebabnya tidak diketahui dengan jelas, namun diduga terinfeksi bakteri. Dampak kematian bulu babi ini menyebabkan biomassa alga meningkat, karena makanan utama bulu babi adalah alga coklat, alga hijau dan lamun (Lasker dan Giese 1952; Herring 1972; Chiu 1985 dalam Azis 1993 diacu dari Ratna 2002). Wilayah perairan St. Croix mengalami peningkatan biomassa alga yang pesat hingga 400-500%, hanya berselang 5 hari setelah kematian bulu babi (www.terangi.or.id).
Bila pada masa sebelum kematian alga perairan tersebut didominasi oleh turf alga dan crustose algae, maka setelah kematian massal bulu babi perairan itu didominasi oleh
makro alga seperti Sargassum dan Turbinaria turbinata. Selain itu, kematian massal ini menyebabkan tutupan alga crustose, tutupan karang, dan gorgonian menurun drastis. Pada kasus ini, kompetitor bulu babi yang memakan turf alge ternyata tidak menunjukkan penambahan populasi yang berarti. Peningkatan populasi kompetitor baru meningkat berarti setelah beberapa tahun dari kematian massal (www.terangi.or.id).
DAFTAR PUSTAKA
- Anonimus. 2003. Bulu babi Merah, Hewan yang Nyaris "Hidup Selamanya" [online]. www.kompas.com/teknologi/news/0311/25/163940.htm. 22 April 2007
- Anonimus. WPI edisi November 2005, no.27. Direktorat Pemasaran Dalam Negeri.
- Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perairan. Departemen Kelautan dan Perikanan.
- Anonimus. 2006. Saudara Tua Manusia Tubuhnya Berduri [online] .http://www.kompas.com/ver1/Iptek/0611/10/152724.htm 3 Mei 2007 Anonimus. 2007. Bulu Babi [online].www.pipp.dkp.go.id/pipp2/species.html?idkat= 12&idsp=259. 22 April 2007
- Darsono P dan Toso A V. 1987. Umur dan Pertumbuhan Bulu Babi Diadema setosum Leske di Perairan Terumbu karang Gugus Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu. Jakarta : Puslitbang Oseanologi LIPI
- Gunarto dan Setabudi E. 2002. Perkembangan Gonad Bulu Babi (Tripneustes gratilla) di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jakarta : Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.
- Hasan F. 2002. Pengaruh konsentrasi garam terhadap mutu produk fermentasi gonad bulu babi jenis Tripneustes gratilla (L) [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
- Kurnia A. 2006. Meraup Yen dengan Memelihara Bulu Babi [online]. www.beritaiptek.com. 22 April 2007
- Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan
- Pratt H S. 1935. A Manual of The Common Invertebrates Animals. McGraw Hill. Company Inc : New York
- Ratna F D. 2002. Pengaruh penambahan gula dan lama fermentasi terhadap mutu pasta fermentasi gonad bulu babiDiadema setosum dengan Lactobacillus plantarum sebagai kultur starter [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
- Shahidi F and Botta. 1994. Seafoods Chemistry, Processing Technology and Quality. London : Blackie Academic Professional
- Timotius, S. 2003. Biologi Terumbu Karang1 [online]. www.terangi.or.id/ publications/pdf/ biologikarang.pdf. 22 April 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar